Senin, Desember 15, 2008

Seminggu yang lalu ...


Allah Akbar ..Allah Akbar.. Allah Akbar.. Laa Ilaahaillalahu Allah Akbar.. Allah Akbar Walilla Ilham..

Kumandang takbir kembali bergema sambut Hari Raya Idul Adha 1429 H. Berkumpulah seluruh keluarga guna merayakan hari besar ini.

Perintah Allah kepada Nabi Ibrahim AS untuk menyembelih putra tercinta dan satu-satunya yakni Nabi Ismail AS adalah sebuah sejarah tentang betapa penyerahan hidup seutuhnya haruslah hanya kepada Sang Khalik semata. Putra semata wayang yang Nabi Ibrahim peroleh setelah sekian lama memohon dan bermunajat tiada henti kepada Allah dan kini harus di kembalikan lagi kepadaNya.

Tak terasa sudah satu minggu kita meninggalkan hari raya tersebut. Adakah perenungan terhadap pengorbanan ini telah dilakukan? Karena terkadang hal ini luput dari hati. Entah berkurban hanya dengan seekor kambing ataukah dengan seekor sapi, tetapi makna yang terkandung seringkali bias atau bahkan tidak ada sama sekali. 

Bagi sebagian yang berkecukupan mungkin berkorban seperti itu bukanlah hal yang sulit. Namun bagi sebagian yang lain berkorban seperti itu membutuhkan usaha dan kerja yang amat keras. Barangkali kita pernah mendapatkan email dari sahabat ataupun pernah membacanya melalui situs-situs muslim mengenai sebuah kisah tentang perjuangan seorang pensiunan pegawai negeri untuk membeli seekor kambing guna dikurbankan. Betapa ia harus menyisihkan setiap bulannya demi tujuan tersebut, dan ternyata setelah melalui jalan yang berat tsb ia mampu membeli seekor kambing yang terbaik.

Idul Adha atau Idul Qurban adalah bukti dari tulus dan ikhlasnya berkorban demi Lillahi Ta’ala. Ikhlas? Ya betul ikhlas, bayangkan saja kita telah membeli sesuatu yang paling indah, yang terbaik lalu kemudian kita berikan kepada orang lain. Andaikata kurban tersebut (kambing atau sapi) diganti dengan hal yang menurut kita paling signifikan, entah itu kendaraan yang baru kita beli atau mungkin jam yang teranyar hasil dari bonus atakah handphone tercanggih keluaran terbaru. Yang kemudiannya kita berikan kepada orang lain untuk disumbangkan, apakah kita mampu dan sanggup untuk melakukannya? Karena mungkin saja hal tersebut adalah hal yang telah lama kita idam-idamkan untuk dimiliki.

Pernahkah kita sejenak berpikir tentang makna dari Qurban itu sendiri? Apakah makna berbagi pernah terlintas? Ataukah yang terlintas pemikiran bahwa ini hanyalah salah satu pengeluaran yang harus dilakukan? Renungkanlah wahai sahabatku.
"supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan[985] atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak[986]. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. " ( Al Hajj : 28 )




4 komentar:

dr.Eko mengatakan...

assalamualaikum akh..
waduh dah hampir sebulan nih ya, baru nongol lagi posting-an baru..
memang berkurban salah satu cara membuktikan bahwa kita mampu dan yang paling penting "mau" berjuang di jalanNya.
Tul gak akh??

tapi ane juga mau tanya sama akh widhi..
kalo kita dalam menjalankan ibadah, berharap ada balasan yang setimpal dari Allah SWT, apa bisa dibilang gak Ikhlas??
seperti ane berharap rejeki dilipat gandakan dengan ane banyak memberi sedekah... bagaimana akh?

widhi hernanto mengatakan...

Waalaikumsalam bro doc...

Ane sependapat dengan pendapat antum doc. Kalu hanya sekedar beli kambing atau sapi, mgk saat ini bagi sbgn kita msh belum begitu penting tapi kalo untuk kurban, ya oke deh, kan gitu kebanyakannya. Tapi klo kita diberi rejeki lebih dari biasanya lalu sebagian kita serahkan di jalan Allah, mampukah kita?? itu baru ujian yang sesungguhnya.. :)

hmm...wah pertanyaan yang menarik nih doc.

klo menurut ane adalah wajar jika kita berbuat baik atas dasar untuk Allah kemudian berharap untuk mendapatkan balasanNya. karena sesuai dengan firman Allah di Surat Al-Baqarah:62,145,148,274,286.

sekarang tinggal bagaimana kita menyikapinya. Dan di salah satu buku yang pernah ane baca, tapi ane lupa judulnya doc, bahwa ikhlas itu ada tingkatan2nya.

1. Ikhlasnya golongan ibadah; mereka yang beramal hanya karena Allah semata, agar amalan-amalan tersebut di balas oleh Allah dengan pahala (surga) dan dihindarkan dari siksa api neraka.

2. Ikhlasnya golongan Muhibbin; mereka yang beramal hanya semata-mata karena kecintaannya kepada Allah dan bukan untuk mendapatkan pahala atau supaya dihindarkan dari siksa api neraka.

3. Ikhlasnya golongan ma'rifat; mereka beramal, maka yang mendorong dan menggerakkan amalannya adalah Allah. Mereka sama sekali tidak mempunyai daya dan kekuatan sedikitpun untuk melakukan sesuatu kecuali karena pertolongan Allah.

Insya Allah dengan terus belajar, kita pasti bisa mencapai tingkatan yang tertinggi.

Syukron.

dr.Eko mengatakan...

thanks bro widhi buat penjelasannya..
doakan mudah2an aja ane bisa selalu ikhlas dalam menjalankan apapun..
semoga ilmu yang dimiliki NT makin bertambah dan bisa terus diamalkan serta dibagi ke orang lain..
biar jadi Rahmatan Lil 'alamin..

widhi hernanto mengatakan...

Insya Allah bro doc..marilah kita sama2 menjadi manusia yang lebih baik, bukankah setiap muslim itu adalah bersaudara? sudah menjadi kewajiban untuk membantu saudaranya...

cukuplah Islam yang menjadi Rahmatan Lil'alamin..

syukron