Senin, Oktober 20, 2008

RUU Pornografi, Perlu atau Tidak?

Sudah hampir sebulan ini pembahasan tentang RUU Pornografi kembali mencuat ke masyarakat dikarenakan telah siap untuk disahkannya RUU tersebut menjadi UU sehingga memiliki kekuatan hukum yang pasti. Tetapi karena adanya pihak-pihak tertentu yang merasa terancam dengan disahkannya RUU ini, maka dibuatkanlah opini bahwa dengan adanya RUU tersebut maka kebebasan berekspresi akan terpasung.

Kalau kita mau jujur dan mau melihat realita yang ada di masyarakat saat ini, permasalahan pornografi sudah semakin marak dan mengakar. Mulai dari desa sampai kota, mulai dari dewasa sampai anak kecil, semua telah melihat hal tersebut. Lalu sampai kapan hal ini akan terus dibiarkan membayangi keseharian kita? Jangan menutup mata dan telinga bahwa seakan-akan semua itu adalah hak dan kewajiban dari masing-masing individu untuk membentengi dirinya sendiri. Dan pemerintah tidak berhak untuk ikut campur dalam hal ini.

Dengan berbagai alasan, pornografi seakan-akan telah menjadi hal yang wajar dan lumrah di tengah masyarakat kita. Kebebasan berekspresi ataukah kebebasan berseni, itulah yang selalu menjadi tameng para pelaku hal tersebut. Ketika pelarangan atau pencekalan dilakukan, maka alasan yang lebih universal akan dimunculkan yakni pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Seharusnya para pelaku tersebut menyadari bahwa apa yang dilakukannya akan membawa dampak yang cukup signifikan terhadap generasi penerus suatu bangsa. Mengapa hak asasi manusia selalu dijadikan alasan untuk melegalkan sesuatu yang dalam hal ini telah jelas-jelas merusak dan menghancurkan moral manusia? Apa yang terjadi jika sedari dini moral dan mentalitas generasi tersebut telah terinjeksi dengan hal-hal seperti itu. Di permukaannya terlihat tenang tetapi dibawah itu telah terjadi gejolak yang sedemikian dahsyatnya yang penanganannya mungkin sudah diluar dari kemampuan generasi tersebut.

Kalau sudah rusak dan hancur, lantas kepada siapa kita meminta pertanggungjawaban atas hal ini? Jawabannya adalah pada diri masing-masing, itulah pemikiran golongan yang menolak RUU tersebut. Atau salahkan kedua orangtuanya, mengapa tidak membengkali diri sang anak dengan ilmu tentang agama dan akhlak yang cukup. Atau salahkan lingkungan sekitar, mengapa menjadi rusak dan bobrok ketika menjelang masa dewasa sang anak. Dan atau salahkan si anak itu sendiri, kenapa bisa dan mau saja mengenal hal-hal seperti itu tanpa menyaringnya terlebih dahulu.

Lantas dimanakah peran pemerintah atau Negara dalam mengatasi hal ini? Negara ini memang bukan negara agama, meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam tetapi negara ini juga bukan negara sekuler. Sehingga pemerintah di rasa perlu, berhak serta harus bertanggung jawab untuk menyelamatkan rakyatnya dari kehancuran di masa yang akan datang. Janganlah lagi menggunakan alasan budaya ataupun agama untuk menghalangi terbentuknya UU ini. Yang perlu dipikirkan saat ini adalah bagaimana kita mengamankan generasi penerus kita sehingga dapat menjadi pribadi-pribadi yang kuat baik dari segi akhlak maupun agamanya. Dan ingatlah bahwa setiap manusia akan dimintakan pertanggungjawabannya atas hal-hal yang telah diamanahkan padanya di hari penghitungan nanti.

Tidak ada komentar: